Desember 28, 2016

Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca-Orde Baru, 1998-2015: Analisis Ekonomi Politik


Ringkasan Temuan  

CATATAN PALING awal yang menyebut media cetak di Jambi adalah monografi Sumatera Tengah yang diterbitkan pada 1956 (?) oleh Djawatan Penerangan Sumatera Tengah. Di dalam sebuah tabel pers yang muncul setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, disebutkan bahwa dua surat kabar diterbitkan di Jambi, yaitu Pelita Marga oleh Djawatan Penerangan Kabupaten (Djapenkab) Merangin di Bangko dan Aktuil oleh Djapenkab Batang Hari di (kota) Djambi.

Karakter media untuk kepentingan melayani pemerintah daerah tersebut ternyata tak hilang dan bahkan menjadi ciri dari koran-koran lokal yang terbit dan berkembang pada era Reformasi. Bedanya, kalau dulu Pelita Marga dan Aktuil dimiliki oleh pemerintah daerah, sekarang koran-koran lokal yang muncul diterbitkan oleh industri atau badan usaha di luar pemerintahan. Meskipun pemiliknya swasta, melalui kerja sama dalam hal pemasangan berbagai iklan dan langganan dengan pemerintah daerah, koran-koran lokal pada gilirannya juga menjadi pelayan kepentingan pemerintah daerah. Aliansi dan hubungan klientelis yang dibentuk dengan pemerintah daerah tersebut membuat industri koran lokal di Jambi tumbuh dan berkembang pesat setelah Orde Baru runtuh pada 1998.

Pada akhir Orde Baru, di Jambi hanya ada satu koran lokal yang terbit, yaitu Jambi Independent, koran milik pengusaha daerah yang muncul pada 1973 namun sejak 1995 bernaung di bawah Jawa Pos Group. Khawatir koran yang berkembang pesat setelah berganti manajemen ini sewaktu-waktu bisa diberedel oleh pemerintah Orde Baru, Jawa Pos Group menerbitkan koran cadangan bernama Jambi Ekspres. Rupanya ketika koran ini terbit pada awal 1999, rezim sudah berganti. Mengambil untung dari euforia pemberitaan setelah peristiwa Mei 1998, Jambi Ekspres juga segera mendapatkan kesuksesan besar bersama sang kakak. Selanjutnya, dari dua koran tersebut, tumbuh dan berkembang koran-koran lain di bawah Jawa Pos Group. Pada 2002 mereka menerbitkan Posmetro Jambi, yang dimaksudkan sebagai koran kriminal, dan pada 2004 menerbitkan Bungo Pos untuk melayani pembeli di Jambi wilayah barat. Periode 2006 hingga 2010, kelompok yang berbasis di Surabaya tersebut menerbitkan 13 koran lokal lain yang kebanyakan hanya beredar di satu-dua kabupaten atau kota.

Di luar Jawa Pos Group, ada Aksi Pos yang diterbitkan oleh pengusaha dan politikus lokal Usman Ermulan pada 2004 atau setahun jelang pencalonannya menjadi gubernur. Selanjutnya pada 2010, Kelompok Kompas Gramedia juga hadir di Jambi melalui Tribun Jambi. Meskipun terlambat datang dibanding Jawa Pos Group, Tribun Jambi segera memeroleh pelanggan yang lebih besar karena harga jualnya yang jauh lebih murah. Ada juga Harian Jambi yang diterbitkan pada 2013 oleh tim sukses Sum Indra-Maulana setelah keduanya kalah dalam Pemilihan Walikota Jambi serta Jambi Today oleh pengusaha dan politisi Partai Demokrat, Paut Syakarin, pada 2014. Tahun itu juga menyaksikan munculnya Jambi One yang dimiliki para bos Jawa Pos Group di Jambi serta Tungkal Post yang kemudian berubah menjadi Jambi Raya oleh aktivis lokal. Koran-koran ini menggenapi jumlah total 20 koran lokal yang masih terbit hingga akhir 2015.

Kalau banyak peneliti sebelumnya menyebutkan bahwa perkembangan pesat media cetak pasca-Orde Baru disebabkan oleh penghilangan syarat kepemilikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi penerbit media, kasus Jambi memperlihatkan hal tersebut bukan faktor tunggal. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan pasca-Orde Baru serta dinamika politik lokal yang menyertainya bahkan tampak lebih dominan.

Kebijakan otonomi daerah dimulai pada 1999 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola wilayahnya, disusul UU Nomor 25 Tahun 1999 yang mengatur pembagian yang lebih adil terkait penerimaan daerah. Dengan kebijakan itu, daerah seperti berlomba mencari investor untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hasilnya, akumulasi modal swasta dalam bentuk investasi dan modal pemerintah di daerah dalam bentuk anggaran menjadi jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Magnet daerah juga menjadi semakin menarik setelah pemerintah mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang di antaranya mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat mulai 2005. Dalam pemilihan langsung itu, apa pun kemudian dimanfaatkan sebagai sumber daya politik, termasuk koran lokal.

Tak sulit untuk mencari hubungan antara kebijakan baru desentralisasi dan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) dengan pertumbuhan koran lokal. Selain beberapa koran lokal dimiliki oleh aktor politik daerah yang berguna untuk melayani ambisi politik mereka, periode terbanyak berdirinya koran lokal, yakni 2006-2010, menunjukkan persisiannya dengan pilkada-pilkada yang digelar di Jambi. Berperan dalam menyosialisasikan kandidat, koran-koran lokal tersebut mengharapkan kue iklan yang besar jelang penyelenggaraan pilkada.

Namun keliru kalau beranggapan relasi dengan aktor politik tersebut berhenti setelah pilkada usai. Kenyataannya, kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah terus membangun bahkan meningkatkan hubungan yang baik dengan koran lokal. Kali ini mereka menggunakan anggaran daerah yang besar sebagai berkah dari pembagian penerimaan negara yang lebih adil setelah desentralisasi untuk beriklan dan berlangganan koran lokal. Atas nama penyiaran kegiatan pemerintah daerah, kepala daerah memasang iklan-iklan dalam bentuk society, advertorial, dan iklan layanan masyarakat yang sesungguhnya bertujuan mempopulerkan sang pejabat. Target mereka adalah agar terpilih kembali dalam jabatan yang sama atau naik kelas dari bupati/walikota menjadi gubernur dalam pilkada selanjutnya. Demi tujuan itu, anggaran daerah untuk koran lokal ditingkatkan dan akan terus membesar seiring kian dekatnya pilkada. Walhasil, pemerintah daerah tercatat sebagai pelanggan sekaligus pengiklan terbesar untuk koran-koran lokal di Jambi. Dalam waktu 1,5 dasawarsa, relasi ini membuat koran-koran lokal tumbuh dan berkembang pesat di Jambi, dari sebelumnya hanya satu koran lokal pada pengujung Orde Baru menjadi lebih dari 20 pada akhir 2015.

Tak diragukan bahwa iklan, langganan, dan anggaran yang disediakan mendasari hubungan klientelis-patrimonial antara koran lokal dan pemerintah daerah. Hubungan tersebut dicirikan oleh upaya saling memberikan manfaat di antara dua pihak secara timbal-balik dan terus-menerus dalam kurun waktu yang cukup untuk menjamin keterulangan. Dalam hal ini pemerintah daerah mendapatkan citra positif baik dari iklan yang dipasang maupun dari pemberitaan yang tak mungkin kritis, sementara koran lokal memeroleh pemasukan keuangan yang menjamin kelangsungan usahanya. Meskipun saling tergantung, dua pihak yang berhubungan sebetulnya tidak setara (Aspinall dan Sukmajati, 2015: 4-5). Di sini pemerintah daerah menjadi patron, sementara koran lokal bertindak sebagai klien.

Menyadari ketergantungan koran lokal pada pemerintah, kepala daerah dengan segera menghentikan manfaat atau patronase (patronage) dalam bentuk iklan dan langganan yang selama ini diberikan ketika sewaktu-waktu terjadi masalah dalam hubungan mereka, misalnya akibat pemberitaan koran lokal yang terpeleset negatif dan berujung ketersinggungan pemerintah daerah. Karena iklim industri koran lokal yang sangat tergantung pada pemerintah daerah, mau tak mau koran kemudian berusaha memperbaiki hubungan mereka supaya kembali mendapatkan iklan dan langganan. Dengan kebutuhan pemerintah atau kepala daerah pada citra dan pemberitaan positif supaya terpilih lagi dalam pilkada, koran-koran lokal menjadikan titik krusial ini sebagai basis negosiasi. Konsekuensi dari hubungan ini bisa ditebak, koran-koran lokal absen memberitakan pemerintah daerah secara kritis dan hak masyarakat untuk mendapatkan pemberitaan yang benar dan jujur terkait pemerintah mereka terabaikan. Seperti pada awal kemunculannya di Jambi, koran lokal memilih melayani pemerintah daerah ketimbang menjadi forum kewargaan (civic forum) atau anjing penjaga (watchdog) bagi kepentingan publik (Putra, 2004: 135).



Pokok-pokok Kesimpulan

DENGAN RINGKASAN temuan sebagaimana di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, koran lokal tumbuh pesat pasca-Orde Baru dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Variabel ini menambah penjelasan dari peneliti sebelumnya yang menekankan pentingnya pencabutan SIUPP sebagai faktor yang memengaruhi perkembangan industri media di Indonesia (Lim, 2011: 21-22; Sen dan Hill, 2011; Romano, 2003; Rijal, 2005: 421-474). Hilangnya SIUPP sebagai syarat penerbitan media jelas faktor yang penting sekali, tetapi mengabaikan faktor otonomi daerah tentu saja tidak tepat berdasarkan data bahwa lebih dari 90 persen koran yang tumbuh pesat di Indonesia pasca-Orde Baru adalah koran lokal (Sutrisno, 2011: 88).

Kedua, penelitian ini mengonfirmasi peneliti-peneliti ekonomi-politik yang menyatakan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia antara lain membuat akumulasi modal di daerah, baik modal swasta dalam bentuk investasi maupun modal pemerintah dalam bentuk anggaran daerah, menjadi semakin besar (Hadiz, 2010; Aspinall, 2013: 226-242). Sebagai tambahan penjelasan, salah satu bentuk investasi swasta tersebut adalah hadirnya industri koran lokal yang tidak hanya dimiliki oleh pengusaha daerah, tetapi sebagian yang lebih besar merupakan cabang dari industri media di tingkat nasional. Sementara itu, akumulasi modal dalam bentuk anggaran daerah yang besar di antaranya digunakan oleh kepala daerah untuk membangun aliansi dan relasi klientelis-patrimonial dengan koran-koran lokal.

Ketiga, pilkada yang merupakan buah dari kebijakan desentralisasi menjadi penjelas yang paling baik bagaimana relasi klientelis-patrimonial itu dibangun. Kalau pemerintah daerah membutuhkan koran lokal untuk beriklan dan berlangganan supaya popularitas sang kepala daerah meningkat dengan dengan tujuan terpilih dalam kontestasi politik selanjutnya, koran lokal memeroleh patronase dalam bentuk anggaran untuk iklan dan langganan yang angkanya semakin membesar seiring dekatnya pilkada. Penelitian ini juga berargumen bahwa patronase dalam bentuk anggaran untuk koran lokal jelang pilkada tersebut adalah sebentuk politik uang (money politics), menambah variasi lain seperti pembelian suara (vote buying), pemberian barang untuk pribadi dan kelompok, pelayanan dan aktivitas sosial, serta proyek gentong babi (pork barrel) sebagaimana yang telah ditemukan banyak peneliti politik (Aspinall dan Sukmajati, 2015; Aspinall dan As'ad, 2015; Aspinall, 2014a: 545-570; Aspinall, 2014b).

Keempat, industri koran lokal yang didasarkan pada relasi klientelis tersebut menghasilkan pers atau pemberitaan yang berpihak kepada dan berperspektif pemerintah daerah sebagai sang patron, mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas. Peran negatif koran lokal di era kebebasan pers seperti itu tidak terlalu mengejutkan, sebagaimana beberapa peneliti yang lain juga menemukan hal yang sama (Eriyanto, 2003; Eriyanto, 2008: 203-232; Hill, 2008: 188-207; Hill, 2011: 26-48; Brauchler, 2011: 119-140).

Kelima, dilihat dari perbandingan sistem media sebagaimana diteliti oleh Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini, model yang dikembangkan oleh koran-koran lokal di Jambi menyerupai model pluralis terpolarisasi (polarized pluralist model) seperti yang berlaku di negara-negara Mediterania. Model ini dicirikan oleh iklim industri media dengan sirkulasi yang rendah, paralelisme politik yang tinggi, lemahnya profesionalisme wartawan, dan kuatnya intervensi negara (Hallin dan Mancini, 2004: 67). Di Indonesia, paralelisme politik tidak dibentuk berdasarkan ideologi, karena ideologi nyaris absen sebagai basis politik. Sebagai gantinya, uang sering kali lebih dominan dan menentukan dalam persaingan politik. Sejalan dengan itu, penelitian ini menemukan bahwa di era otonomi daerah yang menggunakan sistem elektoral terbuka dalam pemilihan pejabat publik melalui pilkada, paralelisme lebih didasarkan pada uang yang dianggarkan oleh pemerintah daerah atau elite-elite politik serta mengalir ke koran-koran lokal melalui iklan dan langganan. Anggaran itu pada gilirannya membuat perspektif pemerintah hadir di dalam pemberitaan serta melemahkan profesionalisme media.

Keenam, menggunakan tiga pintu masuk dalam analisis ekonomi politik media sebagaimana diusulkan Vincent Mosco (2009), spasialisasi mengambil bentuk baik integrasi vertikal maupun integrasi horizontal. Kalau praktik integrasi vertikal mewujud dalam pendirian banyak anak perusahaan koran, terutama oleh Jawa Pos Group, dengan tujuan mengefektifkan produksi sekaligus menguasai pasar koran daerah; integrasi horizontal dilakukan dengan membuka berbagai bisnis lain oleh induk perusahaan media, seperti Kelompok Kompas Gramedia yang membuka toko buku, hotel, dan percetakan. Pendirian koran lokal oleh pebisnis-cum-politikus lokal juga bisa dibaca sebagai spasialisasi horizontal yang diintegrasikan ke dalam politik untuk melayani ambisi pemiliknya.

Sementara itu, komodifikasi terlihat jelas dari praktik penggunaan berbagai kolom dan ruang berita koran lokal menjadi iklan-iklan yang dijual kepada pemerintah daerah demi mengejar keuntungan yang besar. Kepala daerah sendiri kemudian juga mengkomodifikasi informasi pemerintahan dan pembangunan sedemikian rupa menjadi iklan-iklan politik dengan tujuan kampanye atau membuat citra positif kepala daerah untuk kepentingan pilkada. Pada gilirannya iklan dan anggaran pemerintah daerah yang berlimpah mengkomodifikasi koran lokal sebagai corong kepentingan pemerintah; koran-koran seolah telah menjadi humas pemerintah daerah yang menyiarkan segala kebaikan dan kesuksesan pemerintah daerah. Struktur relasi yang dibangun oleh pemerintah daerah dan koran lokal, dengan demikian, adalah klientelisme-patrimonial yang didasarkan pada uang atau anggaran. Kalau pemerintah daerah berlaku sebagai patron yang mengalirkan anggaran untuk koran lokal, koran lokal menjadi klien yang memberikan manfaat melalui iklan dan pemberitaan positif untuk kepala daerah.[]

_____________

M. Husnul Abid, "Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca-Orde Baru, 1998-2015: Analisis Ekonomi Politik", MA-thesis di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 2016.

Bagian ini diambil dari Bab IX Penutup, hlm. 268-275.

0 komentar: