Desember 01, 2019

Peta Kajian Wastra Jambi

MESKIPUN merupakan tradisi wastra periferal di nusantara, wastra Jambi ternyata sudah lama menjadi topik kajian. Pengamat yang pertama kali membuat laporan tentang wastra Jambi adalah B.M. Goslings. Sejak 1927 hingga 1931, secara berturut-turut Goslings mempublikasikan serial artikelnya tentang batik Jambi dalam berkala Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw. Menarik untuk menelusuri siapa sebenarnya Goslings dan mengapa ia tertarik meneliti batik Jambi.
 
Pengamatan Goslings rupanya bukan merupakan penelitian berkelanjutan dalam jangka panjang. Satu setengah dekade setelah Goslings menerbitkan artikel terakhirnya, baru muncul lagi laporan tentang batik Jambi. Pada 1945, J.P.W. Philipsen menerbitkan tulisan berjudul Kain Djambi, iets over de versiering der Djambibatikes. Tulisan tersebut dimuat di Cultureel Indie
Tentu cukup menarik, kalau bukan agak aneh, bahwa seorang Belanda menulis tentang artefak budaya nusantara justru saat pendudukan Jepang. Terlebih lagi, pada masa itu, sebagaiamana dijelaskan Fiona Kerlogue (2000), industri batik Jambi mulai gulung tikar karena kemiskinan rakyat yang disebabkan pendudukan Jepang.
Seiring dengan mati surinya tradisi batik Jambi sejak periode kolonialisme Jepang, kajian tentang wastra Jambi pun ikut mati suri selama lebih dari 40 tahun. Pengamat yang membangkitkan kembali perhatian terhadap wastra Jambi adalah Barbara W. Andaya, sejarawan dari Universitas Hawaii yang kawentar sebagai penulis To Live as Brothers
Dalam forum Asian Studies Association of Australia Bicontennial Conference yang diselenggarakan pada 1988, Barbara Andaya mempresentasikan makalah tentang perdagangan kain di Jambi dan Palembang pada abad k-17 dan ke-18. Isi makalah Andaya tampaknya cukup diperhatikan kalangan Indonesianis Cornell sehingga makalah tersebut diterbitkan dalam jurnal Indonesia pada 1989.
Pada akhir 80-an, wastra  Jambi mulai dilirik pengamat dalam negeri, pertama-tama oleh pemerintah. Dalam rangka membentuk ideologi pembangunan nasional, Orde Baru membuat proyek besar untuk mendokumentasikan berbagai segi budaya lokal di nusantara. Proyek ini secara teknis dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dipandang sebagai artefak yang merepresentasikan identitas Jambi, wastra Jambi turut didokumentasikan. Hasil dokumentasi diterbitkan menjadi sebuah monograf berjudul Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Jambi.
Pada dekade berikutnya, jumlah kajian wastra Jambi menjadi lebih banyak. Marhamah memaparkan makalah tentang perkembangan batik Jambi dalam Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatera yang diadakan di Jambi pada tahun 1993. Di Copenhagen, Kerlogue pada tahun 1995 menyampaikan makalah tentang kaitan antara tekstil dan identitas di Jambi. Bersama Johannes, Sihol Situngkir, Sudarmadji, dan Puji Y. Subagiyo, Kerlogue kembali mnyuguhkan makalah tentang batik Jambi dalam Simposium Internasional Tekstil Indonesia yang digelar di Museum Nasional pada tahun 1996.
Pada tahun itu pulalah Kerlogue mulai memapankan posisinya secara akademis sebagai antropolog paling otoritatif dalam studi batik Jambi. Scattered Flowers, buku pertama Kerlogue tentang batik Jambi, diterbitkan Universitas Hull. Setahun kemudian, ia merampungkan disertasinya yang berjudul Batik Cloths from Jambi, Sumatra, di dalam mana Kerlogue juga menguraikan kaitan antara batik Jambi dan seni kaligrafi Arab. 
Deretan tulisan Kerlogue tentang wastra Jambi sepanjang dekade 2000-an diselingi oleh tulisan sejarawan dan budayawan lokal tentang tradisi wastra kampung halamannya sendiri. Pada 2001, Djunaidi T. Noor menerbitkan Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian. Untuk kajian wastra Jambi dekade 2000-an, harus disebutkan pula secara khusus studi Kerlogue dan Hitchcock yang terbit di jurnal Indonesia and the Malay World tentang hubungan antara industri batik Jambi, pembangunan Orde Baru, dan pariwisata.
Tak puas hanya mengamati batik Jambi, Kerlogue akhirnya meluaskan perhatiannya dengan mempelajari jenis wastra Jambi yang lain, yaitu sulaman benang emas. Bahkan, Kerlogue juga meneliti motif hias pada rumah adat Jambi dan tradisi kuliner khas Jambi. Sulaman Benang Emas: An Embroidary Tradition from Central Sumatra adalah judul paper Kerlogue yang dipaparkannya dalam suatu forum di Museum Nasional Jakarta pada tahun 2007. Paper yang sama (atau revisinya?) ia paparkan dalam The First Conference on Jambi Studies pada 2013. 
Semenjak tahun 2012, muncul nama-nama baru yang bergabung dalam diskusi ilmiah tentang wastra Jambi, khususnya tentang batik Jambi. Dalam Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan Kelenturan Budaya, Dewi mengulas sejumlah artikel Andaya dan Kerlogue tentang wastra Jambi. Zilberg mengamati wastra Jambi dari sudut pandang arkeologi, sejauh tergambar pada arca Prajnaparamita yang ditemukan di kompleks percandian Muaro Jambi.
Pada 2013, setidaknya ada tiga kajian tentang wastra Jambi, yaitu oleh Sumardjo Karmela, dan Adhanita. Sumardjo mencari makna motif-motif batik Jambi secara kosmologis. Melengkapi penjelasan Kerlogue tentang industri batik Jambi, Karmela menulis tentang industrialisasi batik di Kota Jambi. Terakhir, meramaikan diskusi tentang motif batik Jambi, Adhanita menulis artikel berjudul Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan.
Setelah me-review secara singkat dan sederhana perkembangan kajian wastra Jambi selama ini, tampak bahwa telah banyak sisi wastra Jambi yang dieksplorasi para pengamat sejak Goslings. Jenis wastra yang banyak dibicarakan adalah batik Jambi. Sulaman benang emas hanya diamati oleh Kerlogue. Songket Jambi lepas dari radar pengamatan para peneliti. Wastra ikat kepala untuk laki-laki dan wastra penutup kepala untuk perempuan belum pernah menjadi fokus penelitian.
Wastra Jambi paling sering diperbincangkan dari perspektif ekonomi. Walaupun menggunakan pendekatan sejarah, kajian Barbara Andaya jelas mengandung keterangan panjang lebar tentang fungsi ekonomi wastra Jambi dan dinamika ekonomi di sekitarnya. Pasang surut industri batik Jambi telah diteliti oleh Johannes, Situngkir, Sudarmadji, Subagiyo, Kerlogue, Hitchcock, dan Karmela. Justru dominasi perspektif ekonomi dalam kajian wastra Jambi membuka celah bagi para peneliti lain untuk mendiskusikan wastra Jambi misalnya dari perspektif kontestasi politik, agama, pop culture, atau perspektif baru lainnya.
Wastra Jambi sebagai cermin identitas lokal juga sudah lazim dikomentari, tampaknya bahkan sejak tulisan pertama tentang batik Jambi dipublikasikan pada 1927. Semua kajian identitas dalam konteks wastra Jambi dapat dibagi menjadi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan esensialis dan kecenderungan eksistensialis. Jelas bahwa pengamat Belanda, Orde Baru, dan pemerintah daerah mengusung kecenderungan esensialis dalam mendefinisikan identitas. Sementara itu, Kerlogue dan Dewi enggan terjebak dalam kecenderungan esensialisasi identitas tersebut.
Yang juga sudah banyak dibahas adalah tradisi wastra bagian hilir Jambi. Kebudayaan Jambi, yang pada mulanya dan pada dasarnya berbasis sungai, sebenarnya terbagi menjadi dua kutub yang satu sama lain saling berkoeksistensi, yaitu kutub hilir dan kutub hulu. Artefak budaya kedua kutub ini tentu memiliki persamaan yang mempertemukan dan menyatukan, juga memiliki perbedaan yang menegaskan subidentitas masing-masing. Tradisi wastra hulu Jambi bukan tidak ada, hanya saja kurang dilirik. Kerlogue sudah serba sedikit menyebut-nyebut kain etnik di hulu Jambi tetapi tradisi wastra ini tidak pernah menjadi konsenstrasi kajiannya.
Bila ingin lebih jauh menelusuri kajian wastra Jambi, Anda bisa mencari referensi-referensi yang dicantumkan dalam bibliografi di bawah ini. Perlu ditegaskan, bibiliografi ini masih dalam proses penyempurnaan. Banyak kajian yang barangkali luput dari jangkauan. Karena itu, demi melengkapi bibliografi ini, informasi dari berbagai pihak tentu diharapkan, ditunggu, dan diterima dengan tangan terbuka.

Bibliografi Kajian Wastra Jambi

1927/1928
Goslings, B.M.,"Een batik van Jambi", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 12 (1927/1928), hlm. 279-2-83.

1928
Berestyen-Tromp, E.van, "Batik van Djambi", Kolonial Week Blad, 31Mei1928, hlm. 259-260.

1929/1930
Goslings, B.M.,"Het batiken in het gebeid der hoofdplaats Djambi", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 14 (1929/1930), hlm. 141-152; 175-185; 217-223.

193/1931
Goslings, B.M., "Roodgekleurde Djambi-batiks", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 15 (1930,1931), hlm. 335-346.

1945
Philipsen, J.P.W., "Kain Djambi, iets over de versiering der Djambibatikes", Cultureel Indie, 7(1945), hlm. 144-122.

1988
Andaya, Barbara W., "The Cloth Trade in Jambi and Palembang Society during the Seventeenth and Eighteenth Centuries", Indonesia, 48(1989), hlm.27-46. Mulanya adalah makalah yang dipresentasikan pada Asian Studies Association of Australia Bicentennial Conference yang diselenggarakan di Universitas Nasional Australia pada Februari 1988.

1988/1989
Depdikbud, Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Jambi, (Jakarta: Depdikbud, 1988/1989).

1993
Marhamah, "Batik Tradisional Jamb idan Perkembangannya", makalah dipresentasikan pada Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatra, Jambi, 27September1993. Tampaknya makalah ini atau revisinya kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Batik Tradisional Jambi dan Perkembangannya, (Jambi: Kanwil Departemen Perindustrian Provinsi Jambi, 1993).

1995
Kerlogue, F., “Textiles, Traditionand Identity in Jambi, Sumatra”, makalah dipresentasikan pada The 4th Nordic-European Workshop in Advanced Asian Studies,“ Cultural Studies in Southeast Asia”, NIAS, Copenhagen, 1995.

1996
Kerlogue, F., “The Red Batiks of Jambi: Questions of Provenance”, makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9November 1996.
Johannes dan Sihol Situngkir," Production and Marketing Policies: Orientation of Jambi Batik", Makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9November1996. Tak diterbitkan.
Sudarmadji dan Puji Y. Subagiyo," Jambi Batik in Development", makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9 November1996. Tak diterbitkan.
Kerlogue, F., Scattered Flowers: Textiles from Jambi, Sumatra,(Cottingham: University of Hull,1996).

1997
Kerlogue, F. Batik Cloths from Jambi, Sumatra (1997). Tesis PhD di Universitas Hull.Tidak diterbitkan.
Kerlogue, F.,“Classical Batiks of Jambi”, makalah dipresentasikan pada konferensi The World Batik and Heritage Conference, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, November1997.

1998
Kerlogue, F., “Textiles as a Medium of Communication in Malay Communities in Sumatra”, makalah dipresentasikan pada The Annual Conference of the Association of Social Anthropologists 1988 di University of Kent at Canterbury, 30 Maret hingga 3 April 1998. Makalah ini tampaknya kemudian diterbitkan sebagai artike lberjudul "Interpreting Textiles as Medium of Communication: Cloth and Community in Malay Sumatra", Asia nStudies Review, 24 (2000), hlm. 335-348.

1999
Kerlogue, F., "Importing Identity: Indian Textiles in Jambi, Sumatra", makalah dipresentasikan pada seminar "Textiles in the Indian Ocean", yang diselenggarakan Institute of Social and Cultural Anthropology di Universitas Oxford, 19-20 Maret 1999. Makalah ini kemudian diterbitkan sebagai artikel berjudul "Importing Identity: Textiles of Jambi (Sumatra) and the Indian Ocean Trade", dalam Ruth Barners(ed.),Textiles in Indian Ocean Societies,(London-NewYork: Routledge-Curzon, 2003), hlm. 130-149.
Kerlogue, F., "Transformation and Tradition: Calligraphy Batiks from Jambi", makalah dipresentasikan pada "Textiles in Changing Times: Identity and the Remaking of Tradition", sebuah forum di Fowler Museum of Cultural History, Universitas California, Los Angeles, 15 Mei 1999.

2000
Kerlogue, F. dan Michael Hitchcock, "Tourism, Development, and Batik in Jambi", Indonesia and the Malay World, 28, 82 (2000), hlm. 221-242.

2001
Noer, Djunaidi T., Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian, (Jambi: Dinas Pariwisata Provinsi Jambi, 2001).

2004
Kerlogue, F., “Jambi Batiks: A Malay Tradition?”, kuliah yang diberikan di Galeri Brunei, University of London School of Oriental and African Studies, disela-sela pameran Spirit of Wood, theArt of Malay Woodcarving, 28 Januari 2004.
Kerlogue, F. dan Tara Sosrowardoyo, Batik: Design, Style & History, (London: Thames & Hudson, 2004).

2005
Kerlogue, F., ‘The Batik of Malay Sumatra”, makalah dipresentasikan pada International Seminar on ‘The Spirit and Form of Malay Design’, National Museum, Kuala Lumpur, Juni 2005.

2007
Kerlogue, F., “Sulaman Benang Emas: An Embroidery Tradition from Central Sumatra”, makalah dipresentasikan di Museum Nasional, Jakarta, 21-22 November 2007. Makalah ini tampaknya kemudian dipresentasikan lagi pada The First International Conference on Jambi Studies, Jambi, 21-24 November 2013.

2011
Kerlogue, F., "Memory and Material Culture: A Case Study from Jambi, Sumatra", Indonesia and the Malay World, 39,113 (2011), hlm. 89-101.

2012
Dewi, Ratna, "Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan Kelenturan Budaya", Seloko: Jurnal Budaya, 1, 1(2012), hlm. 175-189.
Zilberg, Jonathan, "Textiles History in Stone I: The Case of Muarajambi Prajnaparamita", Seloko: Jurnal Budaya, 1, 2 (2012), hlm. 215-258.

2013
Sumardjo, Jakob, "Kosmologi Batik Jambi", Seloko: Jurnal Budaya, 2, 1 (2013), hlm. 95-121.
Karmela, Siti Heidi, "Industrialisasi Batik di Kota Jambi: Batik Jambi sebagai Produk Ekonomi dan Politik", Seloko: Jurnal Budaya, 2, 1 (2013), hlm. 123-144.

Adhanita, Septiara, “Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan”, Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9, 4 (2013), hlm. 381-392.

Read more…

Desember 10, 2017

Echo of Ahok Case Beyond Electoral Territory of Jakarta: The Case of Islamic Defense Action in Jambi Ahead of Pilkada DKI Jakarta 2017


Abstract  

JAKARTA PROVINCIAL elections in 2017 brought broad resonance not only in the electoral region in the area, but also spread to many regions in Indonesia. Besides Jakarta is the capital city of the country, which became the center of attention of all citizens, the cause is the election with issues relating to Islam, the majority religion of the country.

Approximately five months ahead of the vote, the incumbent governor with ethnic Chinese and Christian background, Basuki Tjahaja Purnama or Ahok, delivered a speech citing verses of the Qur'an and was later regarded as harassment of the holy book. In addition to Ahok being brought to court, a massive demonstration wave of Muslims, called the Islamic Defense Action, was held not only in Jakarta, but also in many other areas in the country.

This article discusses the Islamic Defense Action in Jambi, the actors who were in front line the demonstrations, and how the action is replicated for other cases of Islamic harassment in this area. Based on field observations, interviews, media archive readings, and an analysis of recorded Friday sermons in Jambi, this article argues that Islamic identity and sentiment seek to be raised to mobilize these actions in order to gain broader support for broader interests.[]

__________

Suaidi Asyari & M. Husnul Abid, “Echo of Ahok Case Beyond Electoral Territory of Jakarta: The Case of Islamic Defense Action in Jambi Ahead of Pilkada DKI Jakarta 2017”, Paper presented at the 10th Al-Jami’ah Forum “Identity in the Age of Populism: Southeast Asian Perspectives”, Yogyakarta, 10-12 November 2017.

Read more…

Review of the Diversity of Palm Oil Production Systems in Indonesia: Case Study of Two Provinces: Riau and Jambi


THIS PAPER proposes an overview of the development of oil palm production in Indonesia combining two levels: (i) a national and historical perspective of the development of the sector; (ii) a regional approach considering two contrasting provinces, Riau and Jambi.

Starting with colonial times, the national approach deals first with the main periods that punctuate the development of oil palm plantations up to the contemporary period, marked by the liberalization of the economy. It emphasizes several factors that played a strategic role in the development of palm oil production, such as the role of the State and migration.

After presenting the different models that structure the relationships among stakeholders and how these relationships have evolved, the role of small family planters is analyzed. This section ends with a review of some controversial issues: livelihood improvement, land tenure and customary rights, inclusion versus exclusion, market risks, forest and environmental threats and governance.

The regional approach gives context to the development of palm oil production within two territories that have different historical backgrounds, with Jambi entering into production relatively recently. In each of the two provinces, the themes and issues involved in palm oil development identified at national level are analyzed, with specific emphasis on stakeholders’ strategic behaviours. The paper concludes with a comparative perspective on both provinces.

_________

Alice Baudoin, Pierre-Marie Bosc, Cécile Bessou, & Patrice Levang, “Review of the Diversity of Palm Oil Production Systems in Indonesia: Case Study of Two Provinces: Riau and Jambi”, Working Paper 219, (Bogor: CIFOR, 2017). DOI: 10.17528/cifor/006462

Full-paper is available here.

Read more…

Incorporating Islamism into Secular Education System: An Attempt of Gradual Islamization of the State and Society by an Indonesian Tarbiyah Movement in Jambi


Abstract  

THE DOWNFALL of the New Order regime in 1998, which was soon followed by the liberalization policy in al-most every aspect of politics, opened vast opportunities for the emergence of political expressions including Islamism into the public space. While violent responses indicated by some Islamic groups, who take advantage of the weakening of the state, Tarbiyah Movement (harakah tarbiyah) consist-ently performs gradual Islamization through the system provided by the state. 

Based on a field research in Jambi, Sumatra, this article discusses the efforts undertaken by the group to incorporate their Islamist ideas into secular educa-tion system at the levels of primary and secondary educa-tion. This article argues that these all efforts are part of Is-lamization process of society and the state in Indonesia af-ter the failure of its leaders in doing the same thing at the political level especially in the aftermath of the 1999 general election.


Keywords: Tarbiyah movement, Islamization of the state, Islamic education, post-New Order Indonesia.

__________

Suaidi Asyari, "Incorporating Islamism into Secular Education System: An Attempt of Gradual Islamization of the State and Society by an Indonesian Tarbiyah Movement in Jambi", Journal of Indonesian Islam, 11, 1, (2017), pp. 29-58. DOI: 10.15642/JIIS.2017.11.1.29-58

Full-article is available here.

Read more…

Februari 14, 2017

Sungai dan Sejarah Sumatra


BELAKANGAN INI, tidak ada rupa bumi yang paling banyak diperbincangkan selain sungai. Sayangnya, ini lebih banyak berisi kabar buruk. Namun, tidak dengan buku ini, yang memaparkan sungai justru sebagai faktor penggerak sejarah di Sumatera.

Sungai di beberapa daerah tidak mampu menampung air, lalu menumpahkannya ke sekitar. Banjir melanda, rumah rusak dan manusia menjadi korbannya. Benarkah sungai merupakan musuh abadi manusia, yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberikan manfaat?

Mungkin yang sebenarnya terjadi ialah kurangnya pemahaman kita akan sungai. Berita tentang sungai di media massa lebih banyak tentang amukan si batang air daripada bagaimana cara berkawan dengannya. Secara akademik, kajian tentang darat jauh lebih melimpah daripada kajian perairan. Bahkan, dibandingkan dengan studi tentang laut pun, studi sungai bisa dikatakan tertinggal.

Buku karya Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, ini merupakan kajian yang luar biasa dalam menganalisis sejarah salah satu elemen alam yang lebih banyak disalahkan daripada dimengerti. Gagasan pokok yang ia sampaikan ialah bahwa sungai adalah faktor penggerak sejarah di Sumatera.

Sungai tidak hanya aliran air, tetapi juga sebuah ”dunia” dengan segala kompleksitasnya. Selama ribuan tahun, sungai telah membentuk peradaban Sumatera, sama seperti peradaban Mesopotamia dibentuk oleh Eufrat dan Tigris, serta peradaban Tiongkok oleh Sungai Kuning.

Di bagian awal, buku ini fokus pada bentuk fisik sungai, termasuk penamaannya yang berbeda di antara masyarakat Sumatera. Menurut Gusti, penyeragaman penggunaan kata ”sungai” untuk semua aliran air ke laut terjadi sejak Indonesia merdeka, dan ini mulai menghilangkan keragaman penyebutan nama sungai di kalangan berbagai etnis di sekitar sungai. Contohnya adalah krueng (Aceh), woi (Gayo), aek (Batak Mandailing), lau (Batak Karo), kuala (Sumatera Timur), batang (Sumatera Tengah), air (Sumatera Selatan), dan way (Lampung).

Setiap sungai memiliki karakter berbeda. Gusti mengutip Schnitger (1939) yang ”memanusiakan” sungai-sungai Sumatera sesuai dengan arus dan kondisi air serta lingkungan tempat mengalirnya mereka: Musi ”lebar dan pengeluh bagaikan orang tua”, sementara Batanghari ”ganas dan membara”. Meski terdengar seperti lelucon, dengan mengerti karakter sungai ini memungkinkan orang yang bermukim di tepi sungai atau berlayar di sungai paham bagaimana cara yang tepat berinteraksi dengan sungai.

Gusti mengkritik berbagai mitologi asal mula suku bangsa di Sumatera, yang jarang menjadikan sungai sebagai bagian dari cerita. Rupa bumi yang kerap dikaitkan dengan asal-usul manusia Sumatera adalah gunung (Batak) atau gunung dan laut (Minangkabau dan Kerinci). Gusti menekankan bahwa eksistensi ketiga suku di atas justru dimulai dengan nenek moyang mereka dari utara menelusuri sungai-sungai Sumatera hingga akhirnya sampai di pedalaman Sumatera, tempat mereka berdiam hingga kini.

Era klasik Sumatera ditandai tumbuhnya berbagai kerajaan yang berlokasi di kawasan bagian tengah aliran sungai, misalnya Sriwijaya di tepi Musi, Melayu di tepi Batanghari, serta Minangkabau di tepi Batang Selo dan Batang Buo. Kawasan di tengah bagian sungai memberi kesempatan kerajaan untuk mengontrol produk dari daerah pedalaman sekaligus menghindari perompakan yang kerap terjadi di laut. Lewat sungailah ekspor dari pedalaman Sumatera mengalir ke dunia internasional. Secara keagamaan, sungai memainkan peranan yang penting pula. Berbagai candi Sumatera didirikan di tepi sungai. Belakangan, Islam pun disebarkan ke pedalaman melalui sungai.


Kehancuran Sungai

Perubahan drastis pada sungai terjadi di masa Belanda. Mereka membangun loji di tepi sungai, serta menggunakan sungai untuk ekspedisi militernya. Fisik sungai serta lanskap kependudukan di sekitarnya dan potensi ekonomi yang ada diteliti. Untuk pertama kalinya, jalur sungai Sumatera pun terbuka bagi lalu lintas kapal penumpang dan kapal barang asing berbendera Belanda, Inggris, Tiongkok, bahkan Yunani dan Panama.

Namun, di masa ini pulalah sungai Sumatera mulai hancur. Terjadi eksploitasi tak terkendali, berupa pembalakan hutan, dan pengerukan timah dari dasar sungai, berefek pada erosi tanah dan keruhnya sungai. Pencemaran limbah terjadi saat beberapa industri yang baru lahir membuang limbahnya langsung ke sungai. Era pasca perang ditandai dengan kian runtuhnya peran sungai. Ini tampak dari masifnya pembangunan jalan raya, jembatan, dan penggunaan mobil, membuat sungai ditinggalkan karena dianggap tidak praktis dan tidak modern.

Kondisi sungai kian parah lantaran dihujani berbagai macam limbah, mulai dari limbah perut, rumah tangga, kimia, hingga industri dan pertambangan. Bendungan buatan mengakibatkan terganggunya ekosistem sungai, dan relokasi warganya membuat mereka kehilangan tradisi yang berkaitan dengan sungai. Penebangan hutan demi transmigrasi dan perkebunan menyebabkan sungai kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan.

Di luar poin-poin penting di atas, ada satu kekurangan buku ini. Gusti terlalu memusatkan perhatian pada relasi antara sungai dan manusia. Ia kurang mengupas apa yang ada di bawah permukaan sungai. Seberapa variatif keanekaragaman hewan dan tumbuhan, mulai dari ikan, mamalia, dan reptil, serta teratai di sana? Dan, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana manusia Sumatera sepanjang sejarah memandang, mengelola, atau berkonflik dengannya.

Meski demikian, buku ini patut diapresiasi sebagai karya perintis dalam kajian sejarah sungai di Indonesia, dan harus dianggap sebagai undangan untuk lebih banyak mengupas masa silam sungai. Gusti membuktikan bahwa nenek moyang orang Indonesia tak hanya pelaut hebat, tetapi juga pengarung sungai yang andal.

Bila sejarawan Herodotus menyebut Mesir adalah ”hadiah Sungai Nil”, karena kesuburan Mesir yang berasal dari Nil, Gusti pun pada hakikatnya berpandangan sama, bahwa Sumatera yang kaya pun merupakan hadiah dari ribuan sungai yang menjadi urat nadinya. Setelah masa-masa sungai Sumatera hancur karena eksploitasi, kini saatnya manusia Sumatera, dalam bahasa Gusti, harus ”berdamai dengan sungai”-nya, dengan menjaganya, dan bukan mengabaikan, apalagi merusaknya.

___________

Gusti Asnan, Sungai dan Sejarah Sumatra, (Yogyakarta: Ombak, 2016), xii + 267 halaman.

Dikutip utuh dari Muhammad Yuanda Zara, "Batang Air Pengubah Sumatera", Kompas, 4 Februari 2017, hlm. 24.

Read more…